Review: Mobil Impian

Seorang lelaki yang amat mengimpikan sebuah mobil, kini impiannya terwujud. Sebuah mobil kijang tahun 2000 yang second dibeli dari seorang dokter. Walau second mobil itu terlihat sangat bagus karena semua perlengkapan mulai dari onderdilnya masih komplit. Dia teringat masa lalunya tatkala ayahnya sedang sakit parah. Lelaki itu meminjam mobil pakdenya, sebuah mobil colt T.120 S untuk ke rumah sakit. Tapi, pakdenya tidak memberi pinjaman karena sifat kikir yang menempel pada dirinya. Sampai-sampai anak lelaki itu kebingungan dan akhirnya ayahnya hanya diobati dengan segelas air. 
Namun keadaan ayahnya tambah parah dan keesokan harinya ayahnya wafat karena tidak segera dibawa ke rumah sakit. Lalu seorang lelaki itu menanam dendam pada dirinya, ia berjanji, jika ia memiliki mobil ia akan mengajak ibu dan ketiga adiknya jalan-jalan. Dan tatkala ia mencapai kesuksesan, lelaki itu pun berhasil membeli sebuah mobil. Ketika ia sudah mempunyai mobil, seorang lelaki itu pun di telepon bahwa ibunya wafat. Dan ia pun berkata dalam dirinya “Ibu, aku berhasil mengajak adik-adikku naik mobil impianku walaupun ibu dalam keadaan tidan bernafas lagi. Semoga ibu merindhoi baktiku”. Sambil menangis berkali-kali karena mendengar kabar ibunya wafat. 

Pulang 
Malam masih membalut kota Yogyakarta, kereta itu tiba di stasiun tugu. Putri menengok jam tangannya. Hampir pukul setengah lima pagi. Ia bergegas abtri bersama penumpang lain untuk turun, kemudian mencari musholla untuk melaksanakan shalat subuh. 
Orangtuanya tinggan disebuah desa, kecamatan Gunung Kidul. Sebuah daerah yang di citrakan sebagai daerah miskin. Para penduduk terpaksa harus makan tiwul. Kemiskinan itulah yang membuat kakak-kakaknya tidak bisa sekolah tinggi. Hanya ia satu-satunya sarjana, karena sejak SD sampai kuliah ia selalu mendapatkan beasiswa. Sejak pertama kali ia diterima bekerja di bank Syariah di Jakarta, sebulan sejak ia di wisuda, ia selalu mengirim separuh gajinya kepada ibu dan bapaknya di desa. Ia juga selalu menampik tawaran laki-laki untuk menikah, ia merasa takut bahwa setelah menikah nanti, ia tak bisa membantu ekonomi keluarganya. Ia hanya ingin membahagiakan orangtuanya. Andri adalah laki-laki yang paling gigih mengejar cintanya. Dua minggu lalu ia bertengkar di telepon dengan pemuda berdarah Jawa-Sunda itu. 
“Putri, aku makin tua. Umurku sekarang sudah 32 tahun. Ibuku ingin sekali menimang cucu. Ayolah menikah denganku, Put”. Rajuk Andri. 
“Cari saja perempuan lain, Andri”. 
“Memangnya kamu pikir cari istri seperti beli mobil? Gonta ganti pilihan?” 
“Habis maumu apa?” 
“Ya, menikahimu”. 
“Aku belum mau memikirkan itu”. Sejak itu Andri tak pernah menghubungiku lagi. 
Idul Adha kali ini libur 3 hari. Ia berniat liburan ke esa, berkumpul bersama kedua orangtuanya. Minggu lalu, Wulan sahabatnya menelepon. 
“Jadi kamu masih takut menikah Put?” tanya Wulan. 
“Bukan takut, aku hanya masih ingin membantu orangtuaku. Sebuah lubang besar ditengah jalan raya membuat taksi itu merantuk, Putri terkejut. 
“Maaf mbak”, kata sopir taksi. 
“Enggak apa-apa, Pak”. Tak berapa lama kemudian ia sampai di tempat tujuan. Ia terkejut melihat mobil berplat nomor Jakarta parkir di halaman rumahnya. Ia mengetuk pintu mengucapkan salam. “Alhamdulillah kamu sudah pulang Nduk”, kata bapaknya. 
“Ada tamu”, ibunya memeluk dan berbisik. Putri melihat ke ruang tamu, ternyata Andri. Ia tak sendiri, tapi didampingi kedua orangtuanya. 
“Assalamualaikum Putri, kenalkan ini orangtuaku”, ucap Andri. 
“Waalaikumsalam”. 
“Kami datang kemarin sore dan bermalam disini. Kami bermaksud melamarmu untuk Andri”, kata bapak Andri. 
“Terserah kamu Nduk, usiamu sudah cukup untuk menikah”, kata bapak. 
“Tapi Putri khawatir”. 
“Jangan takut Put”, potong Andri. 
“Apalagi yang kau tunggu Nduk?” tanya ibu. Air matanya tiba-tiba menderas, ia bersimpuh di kaki ibunya. 

Biarkan Aku Pergi 
Suara pluit memecahkan keheningan subuh. Kereta api Parahyangan itu meninggalkan Stasiun Gambir. Aku pulang ke Bandung karena tak tahan lagi dengan perlakuan Gunawan. Setahun pernikahan dengannya ternyata membuat hidupku seperti di neraka. 
“Sheila, Sheila tunggu!” aku menoleh, Gunawan berlari menyejajari kereta. 
“Sheila maafkan aku, turun sayang”. Aku tetap tak menghiraukan. 
 Aku memejamkan mata, menenangkan gejolak batinku. Aku mengenal Gunawan sebulan pertama sejak bekerja di perusahaan konsultan. Awalnya, ia adalah lelaki yang lembut dan baik. Namun semuanya berubah setelah aku menikah dengannya. Aku melamar kerja di sebuah perusahaan penerbitan. Manager SDM perusahaan itu ternyata teman baik kakakku, namanya Galih. Terus terang, dulu ia pernah menyatakan cintanya padaku, tapi aku tolak. 
“Hai, apa kabar?” katanya lembut. 
“Baik kang Alhamdulillah”. Kami bicara tentang masa lalu. Hampir 10 tahun kami tak bertemu. “Adik tau kenapa akang kuliah di Jakarta?” aku menggeleng. 
“Karena cinta akang ditolak. Akang ingin menjadikanmu istri kelak”. 
“Sekarang bagaimana kang?” kataku bercanda. 
“Akang sekarang duda, akang kini tinggal berdua dengan anak perempuan, namanya Samira. Dialah satu-satunya penghibur akang”. Sejak itu kami sering diskusi soal agama. Sesekali aku bertanya padanya soal perkawinan. 

Oleh: Hady Firdaus
Subscribe Subscribe