Potret Pesantren: Antara Santri dan Harapan Kiai


"Sekali menjadi santri selamanya tetap santri.” Pesan inilah yang selalu disampaikan oleh KH. Muammal Syarif, M.A. dalam setiap momen perpulangan santri atau dalam istilah kerennya adalah KUKM (Kuliah Umum Kemasyarakatan). Satu pesan yang mengiringi mereka menikmati liburan di rumah. Pesan yang memiliki makna tersirat, begitu mendalam, dan penuh historis. Ada apa dengan santri?

Hakikatnya santri adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren. Biasanya menetap di tempat tersebut hingga pendidikan selesai. Selama di pesantren mereka akan banyak menimba ilmu pengetahuan agama maupun umum. Segala aktivitas di pesantren menjadi pijakan dalam berkarya dan bertahan hidup kelak setelah kembali ke masyarakat. Namun ada hal yang unik dari santri yakni kebiasaan makan bersama-sama satu nampan, melanggar berjamaah, lambat kiriman, jarbanan (skabies) dan hal lain semacamnya. Hal semacam inilah yang menjadi daya tarik untuk dilihat dan direnung ulang, bagaimana sisi unik kehidupan seorang santri dan kehidupan pesantren secara luas.

Pertama; Seorang santri pasti merasakan makan satu nampan (piring makan). Mereka bersama-sama makan dengan lauk seadanya. Walapun hanya lauk sate (baca: sayur tempe) tapi seperti makan di restoran. Ah, kejauhan membayanginya! Tahukah jikalau kebiasaan tersebut mengajarkan kepada kita agar kita selalu bersama-sama dalam suka atau pun duka, menikmati makanan bersama-sama juga mengajarkan saling berbagi dan memahami kebutuhan masing-masing, tidak boleh rakus dan tamak.

Kedua; Pelanggaran. Santri pasti pernah melanggar. Selama ada peraturan di situlah ada pelanggaran. Santri yang melanggar akan berurusan dengan bagian keamanan, begitulah alurnya. Namun pelanggaran yang dilakukan oleh santri merupakan gejala sosial di mana melanggar merupakan bentuk pencarian jati diri, katanya! Jadi semakin sering melakukan pelanggaran semakin lekas mereka menemukan jati diri? Tentu tidak! Menemukan jati diri seseorang tidak selamanya berawal dari pelanggaran, ada juga yang datang dari nasihat-nasihat para ustaz/ ustazah, pesan orang tua, uswah yang baik dan semacamnya. Namun tidak sedikit santri yang dikenai sanksi karena melanggar, lambat laun mereka merubah diri menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Hukuman yang mereka terima benar-benar membuat mereka taubat dan insyaf. Pemberian hukuman pada mereka pada hakikatnya mengajarkan agar mereka sadar hukum dan sadar akan konsekuensi dari segala tindakan mereka.

Ketiga; Lambat kiriman, urusannya dengan isi dompet. Menipisnya uang jajan santri terkadang membuat mereka galau setengah mati. Pagi-pagi murung mukanya kusut seperti baju yang belum disetrika. Mata merah karena menangisi dan meratapi isi dompet. Gejala ini sering dialami ketika santri mengidap kanker (kantong kering). Namun, bagi sebagian santri gejala tersebut dijadikan ajang introspeksi diri, penambah power dan spirit belajar mereka. Sebab mereka sadar bahwasanya orang tua mereka mencari nafkah tidaklah mudah, penuh dengan perjuangan dan pengorbanan. Banyak orang tua mati-matian mencari rezeki hanya demi kebutuhan anaknya di pondok. Pagi-pagi orang tua sudah berangkat kerja, kadang mereka lupa sarapan, sungguh kasihan. Kurang apa mereka?

Keempat; Penyakit jarbanan, entah dari mana asal muasal nama jarbanan tapi yang jelas secara medis disebut scabies. Ya, semacam penyakit kulit. Penyakit itu katanya sebagai ucapan selamat datang bagi santri baru. Bagi santri lama sudah tidak asing lagi karena mereka sudah merasakan nikmatnya jarbanan, akhirnya kulit mereka sudah kebal dari penyakit tersebut. Justru yang jadi problem adalah santri baru. Mereka harus berjibaku dengan kuman atau bakteri yang timbul di kulitnya. Kadang perjuangan mereka harus berakhir di rumah. Padahal setelah kita telisik lebih jauh lagi, ada hikmah di balik musibah tersebut, yakni menguji tingkat kesabaran santri baru dalam mengawali hidup mereka di pondok. Jangan sampai serangan jarban meluluhlantakkan niat belajar di pondok. Tragisnya cuma gara-gara penyakit tersebut ada sebagian santri baru harus out (keluar) dari pondok, menyerah dari serangan jarbanan. Sekecil itu nyalimu santri baru?

Akumulasi keempat keunikan santri di atas tak ubahnya seperti gambaran kehidupan mereka kelak ketika kembali kepada masyarakat. Hidup bermasyarakat harus mampu menjadi pribadi yang saling berbagi, mengerti akan kebutuhan lingkungan sekitar, pemberi harapan indah, menjadi pioneer keselamatan, cerminan akhlak yang baik, pencetus lahirnya pribadi tangguh dan pekerja keras, serta mampu menjadi trio agen (agent of change, agent of knowladge, agent of cultural) yang akan dielu-elukan banyak orang. Berbanggalah kalian menjadi santri!

* Ust. Ahmad Zainuddin Aziz adalah tenaga didik di Pondok Pesantren Al-Hidayah Al-Mumtazah. Saat ini beliau tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana pada fakultas Ilmu Pendidikan di UNISMA Bekasi. Beliau juga merupakan alumni Pondok Pesantren An-Nuqayyah Guluk-guluk Sumenep.
Subscribe Subscribe