Penyesalan

Namaku Diandra Anggata Putri. Aku adalah seorang mahasiswi di UNISMA, aku terlahir dari keluarga yang mampu, aku satu-satunya anak papa dan mama yang mereka miliki, orang bilang itu namanya anak semata wayang. Sudah dari kecil aku dirawat oleh asisten rumah tangga (pembantu). Orang tuaku menyerahkan ku kepadanya disaat usia ku 9 bulan orang tuaku tidak peduli denganku. Mereka hanya mengurus usaha mereka masing-masing, padahal aku ingin mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari mereka. Tapi, hanya abaian, abaian, dan abaian yang ku dapat dari mereka (pikir ku).

Hingga suatu hari....

Di pagi yang cerah aku terbangun dari tidur ku yang nyenyak, dan tanpa ku sadari mamah sudah duduk di tepi ranjang ku, aku terkejut akan kehadiran mamah ku yang hampir dan bisa dibilang tidak pernah duduk di tepi ranjang ku.
“pagi, nak.” Sapa mama ku.
aku bergegas turun dari ranjang ku dan berdiri di depan mama ku.
“ada apa kau berada di dalam kamar ku?” ucap ku dingin
“mama ingin menyampaikan sesuatu padamu, bahwa esok lusa mama dan papa akan pergi ke luar negeri untuk menyelesaikan bisnis mama dan papa.” Jelas mama
“pergi saja sana.” Sahut ku ketus.
Aku bergegas pergi ke kamar mandi dan tidak memedulikan ekspresi mama ku setelah mendengar ucapan ku.

Esok lusa.

Setelah ku bangun dari tidur ku, kulihat jam menunjukan pukul 05.00. Dan tanpa ku sadari, terdengar suara koper sedang menuruni anak tangga, aku bergegas turun dari kasur lalu mengintip dari balik pintu. Dan ternyata mama dan papa sudah siap untuk pergi ke luar negeri dan meninggalkanku untuk kesekian kalinya. Hati kecil ku menangis, ingin ku ucapkan selamat tinggal kepada mereka tapi, entah mengapa mulutku ter bungkam untuk mengucapkan kata-kata kecil itu
Dan tak ku sadari mama ku menaiki anak tangga satu persatu untuk menuju kamar ku, dengan terburu-buru aku menuju ranjang ku dan berusaha untuk terlihat seperti orang yang belum terbangun. Dan aku terdengar pintu kamar ku terbuka dan pastinya ku tahu itu adalah mama ku dan untuk kedua kalinya mama duduk di tepi ranjang ku dan mengelus lembut rambut ku seraya berkata. “nak, mama pergi dulu ya untuk beberapa saat ini.” Ucap mama.

Diam ku berusaha tidak meneteskan air mata, agar tidak terlihat bahwa sesungguhnya aku telah terbangun dari tidur  ku. Mama ku mengecup pelan kening ku, lalu dia beranjak bangun dan berjalan keluar dari kamar ku. “mama, cepatlah turun!, karena pesawat yang kita tumpangi akan segera lepas landas.” Teriak papa dari bawah. Hatiku sakit bahkan sangat sakit mendengar teriakan papa ku yang seakan menyuruh mama agar lebih cepat meninggalkanku dan meninggalkan rumah ini. Aku menangis akan tetapi, tangis ku tak mengeluarkan air mata, hanya terdengar isa kan tangis ku lembut. Aku bergegas menuju kamar mandi dan setelah beberapa menit akupun keluar dari kamar mandi dalam keadaan sudah bersih.
Tiba beberapa saat aku berada di kampus.

Aku berjalan sendiri dalam pikiran kosong, entah apa yang aku pikirkan tapi, ini membuatku gila. Dan “dorrr...” Namira datang mengejutkan ku, aku terkejut bukan main. “gila ya, mau bikin gue mati?” ucap ku kesal, tanpa menoleh sedikitpun. “enggak kok! Btw, lu kenapa, dari tadi kok bengong mulu? hati-hati kesambet mbaeee...” tanya Namira sambil menyenggol pelan lengan tanganku. “ enggak apa-apa.” Ucap ku bohong. Namira adalah sahabat dari pertama aku masuk kuliah, sifat dia itu petakilan, apa adanya, dan pergaulan dia bebas. “oyy...” ucapnya mengejutkan ku. “kenapa sih?” tanya Namira. “gue bilang gak kenapa-napa, bawel banget lu, kaya ema-ema kurang suami.” Jawabku. “heheh... Gimana kalo kita nanti malam kita ke taman.” Ajak Namira. “ehm... Jemput ya!” pinta ku.”gampang lah kalo soal itu mah.” Ucap Namira.
Hingga malampun tiba.
“Bii...” teriakku memanggil bibi yang sedang berada di ruang belakang (dapur).
“iya non, ada apa?” tanya bibi dengan khawatir namun masih bernada lembut.
“saya mau pergi, pintu rumah di kunci, kalau ada orang yang tidak dikenal, jangan di bukain!” perintahku. Bibi hanya mengangguk mengerti.

Dan selang beberapa menit Namira pun datang menjemput ku, dan ku masuk lalu duduk di sebelah nya, lalu mobil Namira melaju di keramaian kota Jakarta pada malam hari. Dan setelah beberapa menit mereka di perjalanan, akhirnya mereka telah sampai di PUB (diskotik). Mereka turun bersama-sama memasuki PUB. Diandra terkejut, kenapa Namira mengajak nya kesini, padahal tadi dia bilang ke taman.

“woy... ngapain sih kita kesini?” tanyaku seraya melirik lampu-lampu yang membuat kepalaku pusing. “gue hanya mau liat lu seneng dra.” Jawabnya santai. Diandra hanya duduk, dan meminum-minuman itu sedikit demi sedikit, dan sampai akhirnya Diandra terbiasa dengan minuman itu.
Beberapa bulan kemudian.

Hari-hari yang Diandra lewati, sudah menjadi kebiasaan dia, dia hanya pergi malam lalu pulang tengah malam dalam keadaan mabuk, bibi tidak sanggup lagi melihat Diandra seperti itu. Akhirnya bibi memutuskan untuk menghubungi mamanya Diandra.
“assalamu’alaikum, nyonya.” Ucap bibi dengan nada yang agak mengkhawatirkan.
“wa’alaikumussalam, bi.”jawab orang di seberang telpon sana.
“nyonya, saya sudah tidak kuat lagi mengurus Diandra, semakin hari, semakin menjadi-jadi, dia setiap malam pergi lalu pulang tengah malam dalam keadaan mabuk. Padahal beberapa bulan lagi dia ingin di wisuda.” Jelas bibi. “apa bi?” tanya mama terkejut. “Diandra mabuk? Dan dikit lagi dia ingin di wisuda, tapi kenapa dia tidak bilang kepadaku?”tanya mama. “yaudah bibi yang sabar yah, pantau aja terus pergaulan dia.” Mama memberi nasihat dan mengakhiri telepon.

Di tengah malam, Namira dan Diandra pulang dalam keadaan mabuk, dan tanpa mereka sadari mobil yang mereka naiki lepas kendali dan akhirnya. Bruk...
“aku dimana?” ucap ku, seraya membuka mataku pelan-pelan.
“non lagi di rumah sakit, tadi malam non mengalami kecelakaan karena non menyetir dalam keadaan mabuk.” Jelas bibi.
“bii... maafin Diandra yah bi, kalo Diandra sering marah-marah atau merintah-merintah bibi.” Ucap ku seraya memeluk bibi dengan hangat.
“iya non...gak papa kok, semua kesalahan non, sudah bibi maafkan, tapi janji jangan ngulangi lagi yah?” ujar bibi.
Beberapa bulan kemudian.
“bii... cepetan bi, nanti kita telat.” Teriakku dari ruang tengah.
“iya non sabar, sebentar lagi non.” Ucap bibi.
Hari ini adalah hari wisuda ku, aku hanya ingin di dampingi oleh bibi. Padahal aku ingin orang tuaku berada di samping ku seperti yang lain.
“bii... seandai nya mama dan papa hadir ya!” ucap ku
“iya non, bibi juga berharap begitu.”
“bibi kenapa sih? Bibi kok senyum-senyum gak jelas begitu.”
“gak kok, gak apa-apa.”
Selang beberapa menit, aku mendengar beberapa orang memasuki tempat wisuda ku, dan yang aku pikirkan hanyalah ORANG LAIN yang tak ku kenal. “MAMA....PAPA...” ucap ku pelan seperti bisikan yang tak terdengar. Aku sempat berpikir apakah ini hanyalah mimpi belaka atau hanya khayalan sebuah harapan besar ku?
“selamat ya sayang!!!” ucap mereka sambil memeluk tubuhku. Aku berdiri mematung menikmati pelukan orang tuaku. Ya! Ini bukan mimpi atau khayalan harapan ku. Ini kenyataan.
“terimakasih ma...pa...” ucap ku sambil menahan tangis.
“tapi bagaimana bisa?” tanyaku
“kamu lebih berharga dari segalanya sayang.” Perlahan demi perlahan air mataku jatuh dengan deras, tak ku sangka orang tuaku akan mengucapkan kata-kata yang sangat bermakna itu bagiku. Bibi. Ku teringat padanya.
“pasti bibi yang ngasih tau mama sama papa kan?”
“iya non.”
“aku sayang bibi.” Seraya memeluk bibi.
“bibi juga sayang non.” Bibi balas memeluk ku.
Baru kali ini aku merasakan kehadiran keluarga yang ada di samping ku disaat-saat seperti ini. Aku hanya berharap, agar tuhan menjaga keluargaku dimanapun mereka berada.

Oleh : Raidah Salma
*Raidah Salma adalah santriwati kelas III Muallimin yang berasal dari Bekasi.
Ia pun salah satu Anggota dari Qalami. Beberapa tulisannya telah kami terbitkan dalam majalah Qalami, dan kami Entri dalam Website ini.*
Subscribe Subscribe